Idul Fitri yang baru kulewati beberapa hari yang lalu ternyata Jakarta tidak sesepi lebaran beberapa tahun yang lalu. Malahan pengemis di perempatan jalan bertambah banyak. Kata ayahku, mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena bangsa kita ini, mentalnya masih mental pengemis. Aku jadi teringat beberapa presentasi yang pernah aku bantu persiapkan sebagai bagian dari pekerjaan kantorku. Teringat juga beberapa paper yang pernah kukutip bagian rekomendasinya.
Sebagian besar memang meminta bantuan dana. Sebenarnya presentasi terakhir yang coba kubuatkan itu sengaja tidak kucantumkan permintaan financial assitance, karena beberapa waktu yang lalu aku pernah, bahkan hingga sekarang berkeinginan meneliti efektifitas bantuan berupa pendanaan, dalam memecahkan permasalahan yang ada. Yang aku tau, bantuan

Tapi intinya bukan itu. Intinya ternyata memang kita dididik untuk bermental pengemis. Apapun masalahnya, uang selalu menjadi pemecahan masalahnya. Sebenarnya uang tidak perlu disalahkan juga. Yang jadi masalah, ya 'minta-minta'nya itu. Masalah hutan, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah laut, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah pangan, larinya ke bantuan pendanaan. Di berbagai konferensi internasionalpun, masalah yang tak luput dibahas adalah masalah pendanaan. Apapun bentuk pendanaan itu, bantuan seperti itu menjadi penting, bahkan kalau dia hanya pinjaman atau hutang sekalipun.
Padahal, membangun moral bangsa tidak kalah penting. Tapi lagi-lagi masalah moral selalu dihubungkan dengan perut. Masalah perut selalu kembali lagi ke duit. Jadi memang pada dasarnya mentalnya sudah mental pengemis.
Jadi kalau Anda melihat pengemis di jalan, jangan buru-buru kasihan sama orang itu. Mungkin dia ada di situ untuk mengingatkan kita kalo ternyata kita juga sama, sama-sama punya mental pengemis.
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen