Dienstag, 14. September 2010

Mental Pengemis

Jakarta, 14 September 2010



Idul Fitri yang baru kulewati beberapa hari yang lalu ternyata Jakarta tidak sesepi lebaran beberapa tahun yang lalu. Malahan pengemis di perempatan jalan bertambah banyak. Kata ayahku, mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena bangsa kita ini, mentalnya masih mental pengemis. Aku jadi teringat beberapa presentasi yang pernah aku bantu persiapkan sebagai bagian dari pekerjaan kantorku. Teringat juga beberapa paper yang pernah kukutip bagian rekomendasinya.



Sebagian besar memang meminta bantuan dana. Sebenarnya presentasi terakhir yang coba kubuatkan itu sengaja tidak kucantumkan permintaan financial assitance, karena beberapa waktu yang lalu aku pernah, bahkan hingga sekarang berkeinginan meneliti efektifitas bantuan berupa pendanaan, dalam memecahkan permasalahan yang ada. Yang aku tau, bantuan pendanaan tersebut paling banyak lari ke urusan operasional daripada ke permasalahannya itu sendiri. Tapi ini baru hipotesaku. Penelitiannya sendiri belum aku jalankan.



Tapi intinya bukan itu. Intinya ternyata memang kita dididik untuk bermental pengemis. Apapun masalahnya, uang selalu menjadi pemecahan masalahnya. Sebenarnya uang tidak perlu disalahkan juga. Yang jadi masalah, ya 'minta-minta'nya itu. Masalah hutan, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah laut, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah pangan, larinya ke bantuan pendanaan. Di berbagai konferensi internasionalpun, masalah yang tak luput dibahas adalah masalah pendanaan. Apapun bentuk pendanaan itu, bantuan seperti itu menjadi penting, bahkan kalau dia hanya pinjaman atau hutang sekalipun.



Padahal, membangun moral bangsa tidak kalah penting. Tapi lagi-lagi masalah moral selalu dihubungkan dengan perut. Masalah perut selalu kembali lagi ke duit. Jadi memang pada dasarnya mentalnya sudah mental pengemis.



Jadi kalau Anda melihat pengemis di jalan, jangan buru-buru kasihan sama orang itu. Mungkin dia ada di situ untuk mengingatkan kita kalo ternyata kita juga sama, sama-sama punya mental pengemis.

Di Bidang Apapun Anda Bekerja, Kuasai Benar-benar Basic Skill

Jakarta, 14 September 2010

Sore ini hujan kembali turun. Aku berada di dalam angkot. Tinggal 3 penumpang lagi untuk angkot ini berangkat. Karena hujan, tidak banyak karyawan ataupun karyawati yang naik. Ditambah lagi hari ini adalah hari pertama masuk kerja setelah lebaran Idul Fitri.


Angkotku hampir memasuki wilayah jalan Haji Ji'an, baru melewati tempat pembuangan sampah. Wilayah ini lebih rendah dari tempat lainnya. Jakarta sekarang semakin parah. Baru hujan sedikit saja langsung banjir. Jangankan cekungan, daerah tinggi pun belum tentu selamat dari banjir.


Melihat di depan ada genangan air cukup tinggi, angkotku ambil ancar-ancar. Yak! Ngeeeeeeeeeeng! dan... tiba-tiba angkotku berhenti. Ada anak muda tiba-tiba menyeberang jalan.

Alhasil seperti sudah diduga, masuklah air ke dalam knalpot dan membasahi busi. Tapi angkotku masih bisa nyala, hanya saja dia tidak mau jalan. Pak supir terus menginjak gas. Setelah beberapa menit tampaknya tidak juga menunjukkan kemajuan, akhirnya ia pun turun. Meskipun hujan turun makin deras. So profesional, pikirku.


Penumpang di dekat pintu belakang mulai kebasahan. Aku tawarkan payung tapi ia tidak mau. Bapak-bapak yang duduk di kursi pengantin juga ikut kebasahan. Tak lama supir terdengar ngomel-ngomel dan berteriak-teriak. Rupanya ada ban bekas yang terbawa di kolong angkot, nyangkut di mesin dan menyebabkan mesin makin sulit dijalankan. Akhirnya ia minta dua penumpang yang duduk di depan pindah ke belakang. Agak repot karena pintu belakang sudah ditutup oleh penumpang agar air hujan tidak semakin parah masuk ke dalam. Tapi akhirnya ia pindah.


Setelah mendongkrak angkot dan melepaskan ban bekas dari mesin, sekarang ia mencoba mengeringkan busi. Semua dilakukan secara professional. Saya boleh jadi master of science lulusan Jerman, mungkin di sebelah saya juga seorang sarjana. Dua bapak yang di depan agaknya juga minimal lulusan sarjana karena ia bekerja di Sumitmas dengan mengenakan batik yang lumayan necis. Tapi tetap saja saat itu keberhasilan angkot ini ada di tangan pak supir yang bekerja di tengah hujan sambil telanjang dada. Dan (maaf) saya tidak yakin ia seorang sarjana.


Yang membuat saya salut, dia benar-benar menguasai basic skill. Skill yang diperlukan untuk membuat angkot ini kembali jalan. Dan dia benar-benar menguasainya. Dalam beberapa menit, angkot itu kembali bekerja, bahkan kuat melewati tanjakan. Bayangkan kalau saja dia pasrah di tengah banjir dan tidak tau apa yang harus dia lakukan. Mungkin Anda berpikir, paling-paling dia tidak mendapat bayaran dari penumpang. Atau, paling-paling dia menunggu hingga angkot berikutnya tiba sehingga penumpang bisa dioper atau dia bisa minta tolong supir tersebut. Tidak ada yang salah dengan itu memang, tapi yang jelas, dia akan membuat para penumpang kecewa.


Kecewa karena pak supir tidak melakukan hal yang seharusnya dia bisa lakukan. Membuat orang lain kecewa karena pekerjaan kita adalah hal yang paling kuhindari. Bila kita tidak bisa melakukan hal-hal yang sudah seharusnya kita dalami, lantas apa makna hidup kita selama ini?Sementara pekerjaan kita adalah sarana kita beribadah. Bila ibadah kita tidak membawa makna, lantas apalah arti kita di dunia?


Aku benar-benar salut kepada supir angkot itu. Dia pun tak lupa meminta maaf kepada penumpang ketika ia menyupir telanjang. "Maaf Ibu-ibu, saya telanjang. Bukannya belagu, tapi semuanya basah", ujarnya menjelaskan.


Hampir dekat rumah, angkotku mogok lagi ketika melewati tempat banjir untuk yang ketiga kalinya. Secara profesional dia membantu mobil-mobil lain untuk bisa melewati angkotku, karena mereka tidak tau letak saluran air dengan tepat akibat tertutup air. Secara profesional juga ia berupaya sekuat tenaga mendorong angkot yang isinya tinggal 6 perempuan itu, dan memindahkan kami ke angkot berikutnya (angkot ketiga yang lewat, sebetulnya). Dia benar-benar profesional.


Sore itu aku berpikir, tidak peduli berapa tinggi jabatan kita, tidak peduli betapa berkelas pekerjaan kita. Selama kita tidak menguasai basic skill dan tidak bisa melakukan hal-hal yang orang lain harapkan dari kita, rasanya kita tidak lebih baik dari supir angkot telanjang itu.



Sonntag, 12. September 2010

Kamera, Aku Nyasar!

Munich, November 2003 - Misiku hari ini adalah beli kamera digital di Muenchen. Harganya jauh lebih murah kalo beli di Indonesia. Kenapa harus beli hari ini? Karena besok Yanti mau balik ke Jakarta, acara pernikahan adiknya. Aku mau titip kamera ini untuk orang tuaku. Jadi mereka bisa upload foto supaya aku bisa tau perkembangan keluargaku di sana. Maklum, waktu itu mereka masih gaptek. Mereka masih belum terbiasa degan webcam dan lagipula tidak seperti sekarang, chatting via Skype atau Yahoo messenger belum jadi habit mereka.

Dari Freising ke Muenchen memakan waktu 40 menit kalau naik RE atau RB, kereta cepat. Sementara kalau naik S1, bisa sampai 45 menit. Karena aku baru 1 bulan di Jerman, aku bahkan tidak tau jalur mana yang untuk S1 jalur mana yang untuk RE atau RB. Aku takuuut sekali. Bagaimana kalau aku terbawa sampai Austria. Untungnya aku pernah diajak Anggoro ke Muenchen sebelumnya, satu kali. Berbekal pengalaman itu aku meyakinkan diriku sendiri aku bisa ke Muenchen sendiri.

Aku naik S1.

Sesampainya di Hauptbahnfhof (Central Station), aku harus ke daerah Kartstad-Karlplatz, karena aku tau kamera itu dijual di sana. Cuma bagaimana caranya? Banyak sekali pintu-pintu keluar di sana. Ada yang ke kanan, ke kiri. Sudah ke kanan ke kiri atau ke kanan lagi, terus ada juga yang ke bawah. Aduh, bagaimana ini? Aku lupa kemarin aku lewat yang mana. Meskipun banyak papan informasi dan arah-arahnya, aku juga lupa kemarin ke arah yang mana? OMG. Gawat. Mungkin kalo aku di Jakarta aku bisa bertanya kepada orang-orang yang berseliweran. Pasalnya aku trauma di sini kalo bertanya kita dicuekin orang. Boro-boro menjawab, menoleh ke kita pun itu sudah sukur.
Belum lagi mereka memandang aku seperti alien dari planet antah berantah. Anak kecil Asia berkerudung. Agak aneh bagi mereka. Waktu aku masuk Mensa (tempat makan universitas seperti kantin besar) pertamakali, suara sekian desibel langsung hilang ketika aku datang, karena mereka serta merta menoleh ke arahku.. aku hanya bisa tersenyum kepada mereka-meraka itu. Senyum memang senjata terampuh ternyata. Dan mereka pun melanjutkan lagi makannya. Kata Anggoro baru kali ada mahasiswi Asia berkerudung yang makan di situ. Hmm... "nice".

Akhirnya aku mengikuti arah keluar yang naik eskalator setelah melalui beberapa lorong. Sesampainya di atas aku kembali bingung. Wadoww, aku dimana ni? Boro-boro bisa balik ke Freising, sampai ke tempat kamera aja Alhamdulillah.

Buru-buru kutelpon Anggoro.

"Anggoro, aku di Muenchen, dan aku nyasar!"

"Kamu dimana?"

"Lha ya itu, aku ga tau. Kalo tau gak akan nyasar.."
.....
Alhasil setelah kuceritakan secara deskriptif bangunan-bangunan di sekitarku, ada secercah titik cerah setelah menerima arahan dari Anggoro. Tak lama aku berjalan, aku melihat tulisan Karstadt. Yuhuu!! Aku sampai. Aku bangga bukan main terhadap diriku sendiri. Aku berhasil.. aku berhasil. Keberhasilan kecil memang, tapi sekecil apapun keberhasilan itu perlu kita hargai. Kalau kita saja tidak menghargai keberhasilan kita, bagaimana kita bisa menghargai keberhasilan orang lain.
Sering tidak kita sadari bahwa keberhasilan itu tidak harus sesuatu yang besar. Sama dengan rasa takut. Rasa takut bukan hanya semata pada kegelapan, hantu, atau orang jahat. Tapi rasa takut juga hadir ketika kita diminta membacakan puisi atau bernyanyi di depan kelas, takut salah, takut diejek, takut dikomentari, takut gagal, dll. Kali ini, aku takut pergi sendiri ke Muenchen.

Aku menghargai sekecil apapun saat-saat dimana aku mampu mengatasi rasa takutku sendiri. Karena, aku yakin it's a small step to a bigger success! ;-) Kalau kali ini aku bisa menaklukan rasa takutku nyasar di Muenchen, mudah-mudahan kali lain aku bisa menaklukan rasa takut menjelajah di belahan bumi lainnya untuk bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi yang lainnya.

Kali ini saatnya aku menjemput kamera. Kamera, aku datang .....
Picture source:
hbfundhopp.wordpress.com/2009/01/13/raumschiff-ne-on






(Ternyata) Tinggal di Panti Jompo

Soekarno Hatta, 1 Oktober 2003 - Akhirnya aku di bandara, titik nol menuju Jerman. Berbagai macam perasaan hinggap di hatiku; senang, sedih, excited, bangga, haru, dll. Memang bukan pertama kalinya aku ke luar negeri. Alhamdulillah orang tua ku cukup mampu untuk mengajakku serta kakak adikku liburan ke luar negeri untuk beberapa kalinya. Tapi kali ini pertamakalinya aku pergi bukan untuk liburan. Sendiri. Dan untuk 1,5 tahun. Well, hidup sendiri memang bukan hal yang baru lagi. Aku di bandung tinggal selama 4 tahun lamanya jauh dari orang tua, dan 2 tahun lamanya aku benar-benar sendiri di sana. Tapi kali ini tetap saja aku dihinggapi cemas dan gelisah yang luar biasa. Bahkan beberapa hari sebelumya aku dilanda penyakit maag yang bisa dibilang 'kronis' versi diriku sendiri, karena stress nya bukan kepalang. Tapi bukan Indah namanya kalo tidak bisa mengatasi rasa takutnya sendiri, lagipula, mau tidak mau ini harus dilalui.

Bayangkan, untuk pertama kalinya kamu pergi ke negara yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya, dan bahkan hingga detik kamu berangkat, kamu belum mendapat tempat tinggal yang jelas di sana. Kamu bahkan tidak tau mau makan apa, mau jalan-jalan dengan apa dan bagaimana, dan seperti apa lingkungannya. Meskipun aku sudah belajar bahasa Jerman 1 tahun lamanya, tetap saja aku stress. Untungnya, internet sudah ada di tahun itu, jadi aku menemukan sesama orang Indonesia yang juga mengambil program yang sama di sana, dan dia, Yanti namanya, sudah tinggal di sana 6 bulan lamanya. Jadi untuk urusan transport dari bandara ke asrama, setidaknya sudah aman, karena saat itu aku memang sengaja berangkat bersama Yanti.

(Boarding time)
Aku kirim sms terakhir untuk mamaku yang ulang tahun pada hari itu... Germany, here I come
Pesawat telah mendarat. Dari udara aku lihat banyak kawasan hijau. Memang tidak banyak pohonnya seperti Indonesia, tapi rumput hijau di lahan yang luas menghampar dimana-mana.
Nah itu dia, rombongan penjemput Yanti (dan aku).

Perjalanan dari Frans Josef Flughafen (Munich Airport) ke Freising memakan waktu sekitar 40 menit dengan mobil. Mendekati Freising, bangunan-bangunan khas Eropa mulai bermunculan. Kotanya seperti mainan. Bak kota-kota yang sering kuliat di buku Heidi atau buku bacaan lainnya ketika aku masih kecil.

Nah itu dia asramaku, ternyata nama bekennya 'Altenheim'. Dalam bahasa Jerman, altenheim itu artinya rumah jompo. Ternyata nama itu diambil bukan sekenanya saja, karena tepat di samping asrama memang ada panti jompo. Bahkan asrama itu sendiri tadinya adalah panti jompo, yang sekarang dialih fungsikan sebagai tempat tinggal mahasiswa internasional. Jadi di situ sedikit sekali mahasiswa Jermannya.

Mudah-mudahan bangunan ini bisa mengisi lembaran-lembaran hidupku ke depannya dengan hal-hal yang bermakna. Mudah-mudahan.. pikirku sambil terus memandangi altenheim dari depan.












Samstag, 11. September 2010

Temanku Yahudi

Freising, July 2003
Waktu itu musim panas di Freising, Jerman. Musim panas di sana tetap punya nuansa tersendiri meskipun aku datang dari negara tropis. Salah satu yang kuingat jelas adalah baunya. Baunya begitu khas. Entah bau itu datang dari bunga-bunga musim panas atau bau keringat orang Eropa. Atau bisa jadi perpaduan keduanya. Layaknya musim panas, matahari bersinar lebih lama. Yang biasanya sepulang sekolah aku langsung ngendon di kamar kalo tidak ada jadwal sport atau party, di musim panas, meskipun bisa bolak balik dari asrama ke kampus berkali-kali, tetap saja sesampainya di asrama sekitar jam 8 malam yang masih terang benderang itu, aku langsung ganti kostum jogging. Meskipun lahannya perbukitan yang naik turun, aku selalu menargetkan lari tanpa berhenti satu putaran sepanjang 2 km melintasi hutan dan beberapa persimpangan jalan.

Kembali ke asrama aku biasanya 'memaksa' temanku siapapun itu yang aku temui di depan asrama - siapapun itu yang lagi memarkirkan sepedanya atau kembali dari kampus, untuk main bulutangkis atau bola voli. Atau kalau tidak ada, aku terpaksa masuk lagi ke asrama, 'sweeping' semua lantai untuk menemukan partner or team main voley. Meskipun baru tinggal beberapa bulan, untungnya aku mengenal hampir 90% penghuni asrama berlantai tujuh yang berasal dari berbagai penjuru dunia itu. That place feels like a big house to me.

Sebutlah David, anak laki-laki yang kudapati sedang memasukkan barang-barangnya ke kamar yang letaknya persis di sebelahku, 508. Dulu kamar itu diisi oleh Ingrid, perempuan asal Ecuador yang full of style. Aku selalu tau kapan dia datang atau pergi meninggalkan kamarnya, pasalnya dia punya sepatu yang berdetak-detak suaranya. Tapi sudah lama Ingrid meninggalkan kamar itu dan kali ini kudapati laki-laki muda asal Amerika ini di sana.

"Halo" sapaku.
"Hey how are you" he replied
Not so bad, pikirku ... meskipun agaknya dia tidak mampu menggantikan peran Ingrid sebagai teman curhatku, but that's ok. Having a new friend always excite me, meskipun kali itu dia kurang siap jadi lawan main bulutangkisku, at least dia tau kalo he's so welcome as my neighbour.

Hari kedua, akhirnya dia mau main voli dan bulutangkis. Yippy! setelah bulutangkis, malam itu aku undang dia untuk ikut makan di lantai 2 bersama teman-temanku yang lainnya, sekaligus memperkenalkan dia ke dalam lingkungan barunya. Seperti biasa, pendatang baru selalu tidak siap dengan peralatan makan. Untungnya aku mendapat banyak 'warisan' dari para senior. Mau piring ceper? Ada. Mangkok? Ada. Penggorengan? Banyak. Gelas? Apa lagi, pasti ada. TV? Ada juga. Itulah untungnya jadi junior.

Jadilah malam itu kupinjamkan piring putih ceperku. Sebenarnya hidangan makan malam tidak terlalu beragam. Cuma ya itu, di asrama ini kami datang dari berbagai budaya dan agama yang berbeda. Jadi untuk satu menu, bisa ada banyak versi: versi pedas, versi biasa saja. Versi pake babi, versi tanpa babi. Versi pake sapi, dan versi tanpa sapi. Jadi, untuk 1 jenis makanan saja bisa hadir dalam 3 piring yang berbeda.

Singkatnya, dari beberapa makan malam dan olahraga yang kami lakukan bersama-sama, kami merasa lebih dekat dengan sebelumnya.

Di suatu pagi, tidak biasanya David masih ada di kamarnya yang ia biarkan terbuka. Biasanya dia selalu berangkat lebih pagi dari aku. Akhirnya ketika akan ke dapur, aku ber-say 'hi' dulu selewatnya. Saat itu dia hanya bengong melihat aku.

Setelah dari dapur dan melewati kamarnya lagi, aku bertanya kepadanya "Aren't you late to go to school?" dan dia hanya diam, bahkan tidak menoleh ke arahku.
"David?" dia tetap diam.
Hmmm... OK, dan aku masuk ke kamarku. Aneh... tapi hmm... mungkin dia sedang ada masalah.

Esoknya, Rino, PhD student yang juga berasal dari Indonesia bilang kalo David itu Yahudi. Informasi itu serta merta menjawab tanda tanya yang kemarin sempat singgah di kepalaku. Tapi kenapa sebelumnya dia biasa-biasa saja? Aha! Aku baru ingat, karena aku merasa asrama adalah rumahku, aku seringkali keliling-keliling tanpa kerudung. Dan pagi itu, tampaknya pertama kalinya dia melihat aku berkerudung, dan saat itu juga dia tau kalau aku seorang muslim .... sementara dia Yahudi. Makanya sejak saat itu dia selalu menolak untuk makan malam bersama lagi. Bingo!

Beberapa hari kemudian, David membiarkan lagi pintu kamarnya terbuka. Sementara ia duduk di belakang meja tulisnya. Sadar sebelumnya dia tidak akan menjawab sapaan selamat pagi ku, aku pun tidak bilang "Guten Morgen" kepadanya. Sekembali dari dapur, dan baru beberapa detik sebelumnya aku menutup pintu, tiba-tiba Rino mengetuk pintu kamarku sambil setengah berteriak.

"Indah, tetangga loe tuh, ga sopan! Masa gue negor ga dibales!!" saat itu aku lihat dia benar-benar emosi. Setelahnya aku baru tau ternyata mereka tadi berpas-pas-an di lorong, dan David tidak menjawab sapaan Rino saat itu. Karena dia juga tau kalau Rino juga seorang muslim. Menanggapi emosi Rino yang meledak-ledak, aku cuma bisa nyengir dan bilang " hiii....".

Berbagai tanda tanya, kekesalan, kengerian, dll hinggap di kepalaku. Kalau Rino yang temannya bisa dibilang satu asrama marah seperti itu, aku membayangkan perasaan David. Kalau aku jadi dia, aku akan sangat merasa tidak nyaman. Aku terpaksa kehilangan teman-temanku. Belum lagi kalau orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim ini berbuat sesuatu yang jahat kepadaku, belum lagi kalau mereka bersatu dengan mahasiswa-mahasiswa Jerman yang tinggal di situ. Lantas, bagaimana dengan makan malamku? Bagaimana dengan olahraga bulutangkis ku? Kapan lagi aku bisa bermain bulu tangkis?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan ada di kepalau seandainya aku jadi dia. Jadi aku lebih mengkhawatirkan perasaan David dibanding perasaan Rino meskipun marahnya meluap-luap.

Aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bereaksi se-ekstrem itu. Apakah selama ini kami, atau setidaknya aku, seorang muslim, berbuat sesuatu yang menyakiti dia? Bahkan setelah aku tau dia Yahudi pun aku masih mengajaknya makan malam. No idea... aku benar-benar menyayangkan hal itu. Bagaimana mungkin dia bisa bereaksi se-esktrem itu hanya karena dia tau aku seorang muslim.

Tapi mungkin tidak semua hal bisa kita dapat jawabannya saat itu juga. Bahkan hingga sekarang, setelah 6 tahun berselang, aku masih belum dapat jawaban yang benar-benar menjawab mengapa manusia bisa bereaksi seperti itu. Apakah masa lalu benar-benar berpengaruh pada manusia? Atau bila dihubungkan dengan agama yang saya yakini, apakah Yahudi akan selamanya begitu? Dan memang di kitab suci dijelaskan dalam beberapa ayat akan sifat serta sikap mereka dalam menentang kaum muslim. Tapi apakah mereka akan tetap begitu ketika sebelumnya di antara kami terjalin hubungan pertemanan yang cukup baik? Apakah aku salah mencoba berkawan dengan dia meskipun aku tau dia Yahudi? Ataukah dia yang salah karena memutuskan hubungan silaturahmi? Atau dia memang tidak mengenal silaturahmi dengan muslim? (Mungkin Anda menjawab *Tentu tidak*)

Masih ada berbagai macam pertanyaan di kepalaku yang hingga saat ini masih belum bisa terjawab, atau dengan kata lain sebenarnya lebih ke 'tidak habis pikir'. Hmm...Tapi mungkin memang tidak perlu dijawab. Rasanya sudah cukup bagiku bila bisa berbagi cerita dan semua akan mengerti apa yang aku rasakan bila aku berkata "Temanku Yahudi".