Waktu itu musim panas di Freising, Jerman. Musim panas di sana tetap punya nuansa tersendiri meskipun aku datang dari negara tropis. Salah satu yang kuingat jelas adalah baunya. Baunya begitu khas. Entah bau itu datang dari bunga-bunga musim panas atau bau keringat orang Eropa. Atau bisa jadi perpaduan keduanya. Layaknya musim panas, matahari bersinar lebih lama. Yang biasanya sepulang sekolah aku langsung ngendon di kamar kalo tidak ada jadwal sport atau party, di musim panas, meskipun bisa bolak balik dari asrama ke kampus berkali-kali, tetap saja sesampainya di asrama sekitar jam 8 malam yang masih terang benderang itu, aku langsung ganti kostum jogging. Meskipun lahannya perbukitan yang naik turun, aku selalu menargetkan lari tanpa berhenti satu putaran sepanjang 2 km melintasi hutan dan beberapa persimpangan jalan.
Kembali ke asrama aku biasanya 'memaksa' temanku siapapun itu yang aku temui di depan asrama - siapapun itu yang lagi memarkirkan sepedanya atau kembali dari kampus, untuk main bulutangkis atau bola voli. Atau kalau tidak ada, aku terpaksa masuk lagi ke asrama, 'sweeping' semua lantai untuk menemukan partner or team main voley. Meskipun baru tinggal beberapa bulan, untungnya aku mengenal hampir 90% penghuni asrama berlantai tujuh yang berasal dari berbagai penjuru dunia itu. That place feels like a big house to me.
Sebutlah David, anak laki-laki yang kudapati sedang memasukkan barang-barangnya ke kamar yang letaknya persis di sebelahku, 508. Dulu kamar itu diisi oleh Ingrid, perem

puan asal Ecuador yang
full of style. Aku selalu tau kapan dia datang atau pergi meninggalkan kamarnya, pasalnya dia punya sepatu yang berdetak-detak suaranya. Tapi sudah lama Ingrid meninggalkan kamar itu dan kali ini kudapati laki-laki muda asal Amerika ini di sana.
"Halo" sapaku.
"Hey how are you" he replied
Not so bad, pikirku ... meskipun agaknya dia tidak mampu menggantikan peran Ingrid sebagai teman curhatku, but that's ok. Having a new friend always excite me, meskipun kali itu dia kurang siap jadi lawan main bulutangkisku, at least dia tau kalo
he's so welcome as my neighbour.Hari kedua, akhirnya dia mau main voli dan bulutangkis. Yippy! setelah bulutangkis, malam itu aku undang dia untuk ikut makan di lantai 2 bersama teman-temanku yang lainnya, sekaligus memperkenalkan dia ke dalam lingkungan barunya. Seperti biasa, pendatang baru selalu tidak siap dengan peralatan makan. Untungnya aku mendapat banyak 'warisan' dari para senior. Mau piring ceper? Ada. Mangkok? Ada. Penggorengan? Banyak. Gelas? Apa lagi, pasti ada. TV? Ada juga. Itulah untungnya jadi junior.
Jadilah malam itu kupinjamkan piring putih ceperku. Sebenarnya hidangan makan malam tidak terlalu beragam. Cuma ya itu, di asrama ini kami datang dari berbagai budaya dan agama yang berbeda. Jadi untuk satu menu, bisa ada banyak versi: versi pedas, versi biasa saja. Versi pake babi, versi tanpa babi. Versi pake sapi, dan versi tanpa sapi. Jadi, untuk 1 jenis makanan saja bisa hadir dalam 3 piring yang berbeda.
Singkatnya, dari beberapa makan malam dan olahraga yang kami lakukan bersama-sama, kami merasa lebih dekat dengan sebelumnya.
Di suatu pagi, tidak biasanya David masih ada di kamarnya yang ia biarkan terbuka. Biasanya dia selalu berangkat lebih pagi dari aku. Akhirnya ketika akan ke dapur, aku ber-say 'hi' dulu selewatnya. Saat itu dia hanya bengong melihat aku.
Setelah dari dapur dan melewati kamarnya lagi, aku bertanya kepadanya "Aren't you late to go to school?" dan dia hanya diam, bahkan tidak menoleh ke arahku.
"David?" dia tetap diam.
Hmmm... OK, dan aku masuk ke kamarku. Aneh... tapi hmm... mungkin dia sedang ada masalah.
Esoknya, Rino, PhD student yang juga berasal dari Indonesia bilang kalo David itu Yahudi. Informasi itu serta merta menjawab tanda tanya yang kemarin sempat singgah di kepalaku. Tapi kenapa sebelumnya dia biasa-biasa saja? Aha! Aku baru ingat, karena aku merasa asrama adalah rumahku, aku seringkali keliling-keliling tanpa kerudung. Dan pagi itu, tampaknya pertama kalinya dia melihat aku berkerudung, dan saat itu juga dia tau kalau aku seorang muslim .... sementara dia Yahudi. Makanya sejak saat itu dia selalu menolak untuk makan malam bersama lagi. Bingo!
Beberapa hari kemudian, David membiarkan lagi pintu kamarnya terbuka. Sementara ia duduk di belakang meja tulisnya. Sadar sebelumnya dia tidak akan menjawab sapaan selamat pagi ku, aku pun tidak bilang "Guten Morgen" kepadanya. Sekembali dari dapur, dan baru beberapa detik sebelumnya aku menutup pintu, tiba-tiba Rino mengetuk pintu kamarku sambil setengah berteriak.
"Indah, tetangga loe tuh, ga sopan! Masa gue negor ga dibales!!" saat itu aku lihat dia benar-benar emosi. Setelahnya aku baru tau ternyata mereka tadi berpas-pas-an di lorong, dan David tidak menjawab sapaan Rino saat itu. Karena dia juga tau kalau Rino juga seorang muslim. Menanggapi emosi Rino yang meledak-ledak, aku cuma bisa nyengir dan bilang " hiii....".
Berbagai tanda tanya, kekesalan, kengerian, dll hinggap di kepalaku. Kalau Rino yang temannya bisa dibilang satu asrama marah seperti itu, aku membayangkan perasaan David. Kalau aku jadi dia, aku akan sangat merasa tidak nyaman. Aku terpaksa kehilangan teman-temanku. Belum lagi kalau orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim ini berbuat sesuatu yang jahat kepadaku, belum lagi kalau mereka bersatu dengan mahasiswa-mahasiswa Jerman yang tinggal di situ. Lantas, bagaimana dengan makan malamku? Bagaimana dengan olahraga bulutangkis ku? Kapan lagi aku bisa bermain bulu tangkis?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan ada di kepalau seandainya aku jadi dia. Jadi aku lebih mengkhawatirkan perasaan David dibanding perasaan Rino meskipun marahnya meluap-luap.
Aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bereaksi se-ekstrem itu. Apakah selama ini kami, atau setidaknya aku, seorang muslim, berbuat sesuatu yang menyakiti dia? Bahkan setelah aku tau dia Yahudi pun aku masih mengajaknya makan malam. No idea... aku benar-benar menyayangkan hal itu. Bagaimana mungkin dia bisa bereaksi se-esktrem itu hanya karena dia tau aku seorang muslim.
Tapi mungkin tidak semua hal bisa kita dapat jawabannya saat itu juga. Bahkan hingga sekarang, setelah 6 tahun berselang, aku masih belum dapat jawaban yang benar-benar menjawab mengapa manusia bisa bereaksi seperti itu. Apakah masa lalu benar-benar berpengaruh pada manusia? Atau bila dihubungkan dengan agama yang saya yakini, apakah Yahudi akan selamanya begitu? Dan memang di kitab suci dijelaskan dalam beberapa ayat akan sifat serta sikap mereka dalam menentang kaum muslim. Tapi apakah mereka akan tetap begitu ketika sebelumnya di antara kami terjalin hubungan pertemanan yang cukup baik? Apakah aku salah mencoba berkawan dengan dia meskipun aku tau dia Yahudi? Ataukah dia yang salah karena memutuskan hubungan silaturahmi? Atau dia memang tidak mengenal silaturahmi dengan muslim? (Mungkin Anda menjawab *Tentu tidak*)
Masih ada berbagai macam pertanyaan di kepalaku yang hingga saat ini masih belum bisa terjawab, atau dengan kata lain sebenarnya lebih ke 'tidak habis pikir'. Hmm...Tapi mungkin memang tidak perlu dijawab. Rasanya sudah cukup bagiku bila bisa berbagi cerita dan semua akan mengerti apa yang aku rasakan bila aku berkata "Temanku Yahudi".