journey of love
Donnerstag, 12. April 2012
Ups, wrong man!
Gampang-gampang susah. Satu waktu seakan kita yakin seyakin-yakinnya kalo 'I finally found someone', tapi in the next 15 minutes we think differently. Dan itu semua, menurut saya dinamis seiring dengan waktu dan apa yang terjadi dalam kehidupan kita.
Katakanlah A. Wild, rebell, tp smart kayaknya iya banget di jaman-jaman teenager. Tapi kemudian sepertinya butuh sosok yang lebih dewasa. Minimal rapi.
Ketemu B. Dulu jaman-jaman kuliah, dialah sosok ideal. Aktifis, smart, cool, perhatian, dan romantis. Gak tau kenapa, kriteria itu semua kemudian jadi gak penting ketika waktu terus berjalan. Tiba-tiba sifat over protective menjadi sangat mengganggu padahal dulu itu bukan masalah sama sekali.
Beralih ke C. He's an international citizen, berjiwa petualang, smart, wawasan luas, calm tapi cool. Kayaknya ini ni. Tapi pemahaman akan agama kayaknya jauh lebih penting. Gimana ya...
Well let's talk about D. Awalnya agamis, lama-lama kok omdo. Okelah gak smart2 amat, tapi ada kemauan. Tapi masa-masa ini yang penting setia dan tanggung jawab. Dan dia... hmm.... somehow agak diragukan.
Bagaimana dengan E? E mapan, perhatian, agama, tanggung jawab okelah. Malah terlalu ok dan jadinya over. Over tanggung jawab kayak gimana? ya pokoknya semua semua diurusin, jadi khawatir kebutuhan kita sendiri malah nantinya terbengkalai.
F? He's not quite confidence with himself. Percaya diri itu penting. karena kalo ga nanti merasa dilangkahi melulu, dan untuk seorang laki-laki tentunya bahaya. Ga usah liat kriteria yang lain kalo ketemu cowok model gini. Faktanya makin kesini, cowok model begini malah makin sering kita temui.
G. Romantic. Malah berlebihan sampe kadang merasa harus menarik kakinya untuk terus menginjak bumi. Hey life is not that beautifull. Sometimes you have to fight. Mencari fighter di usia yang kian menanjak memang semakin penting menyadari dalam hidup ini akan sangat banyak ditemui tantangan yang harus bisa dilewati. Thought he was the one.
H. Dia cukup mapan. ga banyak ulah. well done. Tapi gak seru. terlalu datar. Hey I need a fighter.
G. Looks like he's a fighter. Quite reliable, bertanggung jawab, smart. Tapi ko terlalu banyak masalah dalam hidupnya. Hmm... Is he the one?
Ada satu waktu dimana kita berharap mudah2an untuk kesekian kalinya kita tidak lagi bilang "Ups, wrong man!". Dan ada saatnya kita benar-benar harus memutuskan "Yep, he's the one".
Have you find one? Bisa jadi itu menunjukan periode dimana 'kamu' berada. You know what I mean, eh? :-)
Kadang saya malah menyimpulkan bahwa kita tidak akan pernah puas akan pilihan kita. Jalan terbaik adalah work with it! Terima segala konsekuensinya. Belajar seiring sejalan beriring dengan waktu yang kadang mengubah kita. Sepertinya memang gak adil ya?!
Tapi itu yang saya yakini saat ini.
Dienstag, 14. September 2010
Mental Pengemis
Idul Fitri yang baru kulewati beberapa hari yang lalu ternyata Jakarta tidak sesepi lebaran beberapa tahun yang lalu. Malahan pengemis di perempatan jalan bertambah banyak. Kata ayahku, mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena bangsa kita ini, mentalnya masih mental pengemis. Aku jadi teringat beberapa presentasi yang pernah aku bantu persiapkan sebagai bagian dari pekerjaan kantorku. Teringat juga beberapa paper yang pernah kukutip bagian rekomendasinya.
Sebagian besar memang meminta bantuan dana. Sebenarnya presentasi terakhir yang coba kubuatkan itu sengaja tidak kucantumkan permintaan financial assitance, karena beberapa waktu yang lalu aku pernah, bahkan hingga sekarang berkeinginan meneliti efektifitas bantuan berupa pendanaan, dalam memecahkan permasalahan yang ada. Yang aku tau, bantuan

Tapi intinya bukan itu. Intinya ternyata memang kita dididik untuk bermental pengemis. Apapun masalahnya, uang selalu menjadi pemecahan masalahnya. Sebenarnya uang tidak perlu disalahkan juga. Yang jadi masalah, ya 'minta-minta'nya itu. Masalah hutan, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah laut, larinya ke permintaan bantuan pendanaan. Masalah pangan, larinya ke bantuan pendanaan. Di berbagai konferensi internasionalpun, masalah yang tak luput dibahas adalah masalah pendanaan. Apapun bentuk pendanaan itu, bantuan seperti itu menjadi penting, bahkan kalau dia hanya pinjaman atau hutang sekalipun.
Padahal, membangun moral bangsa tidak kalah penting. Tapi lagi-lagi masalah moral selalu dihubungkan dengan perut. Masalah perut selalu kembali lagi ke duit. Jadi memang pada dasarnya mentalnya sudah mental pengemis.
Jadi kalau Anda melihat pengemis di jalan, jangan buru-buru kasihan sama orang itu. Mungkin dia ada di situ untuk mengingatkan kita kalo ternyata kita juga sama, sama-sama punya mental pengemis.
Di Bidang Apapun Anda Bekerja, Kuasai Benar-benar Basic Skill
Sore ini hujan kembali turun. Aku berada di dalam angkot. Tinggal 3 penumpang lagi untuk angkot ini berangkat. Karena hujan, tidak banyak karyawan ataupun karyawati yang naik. Ditambah lagi hari ini adalah hari pertama masuk kerja setelah lebaran Idul Fitri.

Angkotku hampir memasuki wilayah jalan Haji Ji'an, baru melewati tempat pembuangan sampah. Wilayah ini lebih rendah dari tempat lainnya. Jakarta sekarang semakin parah. Baru hujan sedikit saja langsung banjir. Jangankan cekungan, daerah tinggi pun belum tentu selamat dari banjir.
Melihat di depan ada genangan air cukup tinggi, angkotku ambil ancar-ancar. Yak! Ngeeeeeeeeeeng! dan... tiba-tiba angkotku berhenti. Ada anak muda tiba-tiba menyeberang jalan.
Alhasil seperti sudah diduga, masuklah air ke dalam knalpot dan membasahi busi. Tapi angkotku masih bisa nyala, hanya saja dia tidak mau jalan. Pak supir terus menginjak gas. Setelah beberapa menit tampaknya tidak juga menunjukkan kemajuan, akhirnya ia pun turun. Meskipun hujan turun makin deras. So profesional, pikirku.Penumpang di dekat pintu belakang mulai kebasahan. Aku tawarkan payung tapi ia tidak mau. Bapak-bapak yang duduk di kursi pengantin juga ikut kebasahan. Tak lama supir terdengar ngomel-ngomel dan berteriak-teriak. Rupanya ada ban bekas yang terbawa di kolong angkot, nyangkut di mesin dan menyebabkan mesin makin sulit dijalankan. Akhirnya ia minta dua penumpang yang duduk di depan pindah ke belakang. Agak repot karena pintu belakang sudah ditutup oleh penumpang agar air hujan tidak semakin parah masuk ke dalam. Tapi akhirnya ia pindah.
Setelah mendongkrak angkot dan melepaskan ban bekas dari mesin, sekarang ia mencoba mengeringkan busi. Semua dilakukan secara professional. Saya boleh jadi master of science lulusan Jerman, mungkin di sebelah saya juga seorang sarjana. Dua bapak yang di depan agaknya juga minimal lulusan sarjana karena ia bekerja di Sumitmas dengan mengenakan batik yang lumayan necis. Tapi tetap saja saat itu keberhasilan angkot ini ada di tangan pak supir yang bekerja di tengah hujan sambil telanjang dada. Dan (maaf) saya tidak yakin ia seorang sarjana.
Yang membuat saya salut, dia benar-benar menguasai basic skill. Skill yang diperlukan untuk membuat angkot ini kembali jalan. Dan dia benar-benar menguasainya. Dalam beberapa menit, angkot itu kembali bekerja, bahkan kuat melewati tanjakan. Bayangkan kalau saja dia pasrah di tengah banjir dan tidak tau apa yang harus dia lakukan. Mungkin Anda berpikir, paling-paling dia tidak mendapat bayaran dari penumpang. Atau, paling-paling dia menunggu hingga angkot berikutnya tiba sehingga penumpang bisa dioper atau dia bisa minta tolong supir tersebut. Tidak ada yang salah dengan itu memang, tapi yang jelas, dia akan membuat para penumpang kecewa.
Kecewa karena pak supir tidak melakukan hal yang seharusnya dia bisa lakukan. Membuat orang lain kecewa karena pekerjaan kita adalah hal yang paling kuhindari. Bila kita tidak bisa melakukan hal-hal yang sudah seharusnya kita dalami, lantas apa makna hidup kita selama ini?Sementara pekerjaan kita adalah sarana kita beribadah. Bila ibadah kita tidak membawa makna, lantas apalah arti kita di dunia?
Aku benar-benar salut kepada supir angkot itu. Dia pun tak lupa meminta maaf kepada penumpang ketika ia menyupir telanjang. "Maaf Ibu-ibu, saya telanjang. Bukannya belagu, tapi semuanya basah", ujarnya menjelaskan.
Hampir dekat rumah, angkotku mogok lagi ketika melewati tempat banjir untuk yang ketiga kalinya. Secara profesional dia membantu mobil-mobil lain untuk bisa melewati angkotku, karena mereka tidak tau letak saluran air dengan tepat akibat tertutup air. Secara profesional juga ia berupaya sekuat tenaga mendorong angkot yang isinya tinggal 6 perempuan itu, dan memindahkan kami ke angkot berikutnya (angkot ketiga yang lewat, sebetulnya). Dia benar-benar profesional.
Sore itu aku berpikir, tidak peduli berapa tinggi jabatan kita, tidak peduli betapa berkelas pekerjaan kita. Selama kita tidak menguasai basic skill dan tidak bisa melakukan hal-hal yang orang lain harapkan dari kita, rasanya kita tidak lebih baik dari supir angkot telanjang itu.
Sonntag, 12. September 2010
Kamera, Aku Nyasar!

Akhirnya aku mengikuti arah keluar yang naik eskalator setelah melalui beberapa lorong. Sesampainya di atas aku kembali bingung. Wadoww, aku dimana ni? Boro-boro bisa balik ke Freising, sampai ke tempat kamera aja Alhamdulillah.

(Ternyata) Tinggal di Panti Jompo

Samstag, 11. September 2010
Temanku Yahudi
Kembali ke asrama aku biasanya 'memaksa' temanku siapapun itu yang aku temui di depan asrama - siapapun itu yang lagi memarkirkan sepedanya atau kembali dari kampus, untuk main bulutangkis atau bola voli. Atau kalau tidak ada, aku terpaksa masuk lagi ke asrama, 'sweeping' semua lantai untuk menemukan partner or team main voley. Meskipun baru tinggal beberapa bulan, untungnya aku mengenal hampir 90% penghuni asrama berlantai tujuh yang berasal dari berbagai penjuru dunia itu. That place feels like a big house to me.
Sebutlah David, anak laki-laki yang kudapati sedang memasukkan barang-barangnya ke kamar yang letaknya persis di sebelahku, 508. Dulu kamar itu diisi oleh Ingrid, perem
"Halo" sapaku.
"Hey how are you" he replied
Not so bad, pikirku ... meskipun agaknya dia tidak mampu menggantikan peran Ingrid sebagai teman curhatku, but that's ok. Having a new friend always excite me, meskipun kali itu dia kurang siap jadi lawan main bulutangkisku, at least dia tau kalo he's so welcome as my neighbour.
Hari kedua, akhirnya dia mau main voli dan bulutangkis. Yippy! setelah bulutangkis, malam itu aku undang dia untuk ikut makan di lantai 2 bersama teman-temanku yang lainnya, sekaligus memperkenalkan dia ke dalam lingkungan barunya. Seperti biasa, pendatang baru selalu tidak siap dengan peralatan makan. Untungnya aku mendapat banyak 'warisan' dari para senior. Mau piring ceper? Ada. Mangkok? Ada. Penggorengan? Banyak. Gelas? Apa lagi, pasti ada. TV? Ada juga. Itulah untungnya jadi junior.
Jadilah malam itu kupinjamkan piring putih ceperku. Sebenarnya hidangan makan malam tidak terlalu beragam. Cuma ya itu, di asrama ini kami datang dari berbagai budaya dan agama yang berbeda. Jadi untuk satu menu, bisa ada banyak versi: versi pedas, versi biasa saja. Versi pake babi, versi tanpa babi. Versi pake sapi, dan versi tanpa sapi. Jadi, untuk 1 jenis makanan saja bisa hadir dalam 3 piring yang berbeda.
Singkatnya, dari beberapa makan malam dan olahraga yang kami lakukan bersama-sama, kami merasa lebih dekat dengan sebelumnya.
Di suatu pagi, tidak biasanya David masih ada di kamarnya yang ia biarkan terbuka. Biasanya dia selalu berangkat lebih pagi dari aku. Akhirnya ketika akan ke dapur, aku ber-say 'hi' dulu selewatnya. Saat itu dia hanya bengong melihat aku.
Setelah dari dapur dan melewati kamarnya lagi, aku bertanya kepadanya "Aren't you late to go to school?" dan dia hanya diam, bahkan tidak menoleh ke arahku.
"David?" dia tetap diam.
Hmmm... OK, dan aku masuk ke kamarku. Aneh... tapi hmm... mungkin dia sedang ada masalah.
Esoknya, Rino, PhD student yang juga berasal dari Indonesia bilang kalo David itu Yahudi. Informasi itu serta merta menjawab tanda tanya yang kemarin sempat singgah di kepalaku. Tapi kenapa sebelumnya dia biasa-biasa saja? Aha! Aku baru ingat, karena aku merasa asrama adalah rumahku, aku seringkali keliling-keliling tanpa kerudung. Dan pagi itu, tampaknya pertama kalinya dia melihat aku berkerudung, dan saat itu juga dia tau kalau aku seorang muslim .... sementara dia Yahudi. Makanya sejak saat itu dia selalu menolak untuk makan malam bersama lagi. Bingo!
Beberapa hari kemudian, David membiarkan lagi pintu kamarnya terbuka. Sementara ia duduk di belakang meja tulisnya. Sadar sebelumnya dia tidak akan menjawab sapaan selamat pagi ku, aku pun tidak bilang "Guten Morgen" kepadanya. Sekembali dari dapur, dan baru beberapa detik sebelumnya aku menutup pintu, tiba-tiba Rino mengetuk pintu kamarku sambil setengah berteriak.
"Indah, tetangga loe tuh, ga sopan! Masa gue negor ga dibales!!" saat itu aku lihat dia benar-benar emosi. Setelahnya aku baru tau ternyata mereka tadi berpas-pas-an di lorong, dan David tidak menjawab sapaan Rino saat itu. Karena dia juga tau kalau Rino juga seorang muslim. Menanggapi emosi Rino yang meledak-ledak, aku cuma bisa nyengir dan bilang " hiii....".
Berbagai tanda tanya, kekesalan, kengerian, dll hinggap di kepalaku. Kalau Rino yang temannya bisa dibilang satu asrama marah seperti itu, aku membayangkan perasaan David. Kalau aku jadi dia, aku akan sangat merasa tidak nyaman. Aku terpaksa kehilangan teman-temanku. Belum lagi kalau orang-orang Indonesia yang mayoritas muslim ini berbuat sesuatu yang jahat kepadaku, belum lagi kalau mereka bersatu dengan mahasiswa-mahasiswa Jerman yang tinggal di situ. Lantas, bagaimana dengan makan malamku? Bagaimana dengan olahraga bulutangkis ku? Kapan lagi aku bisa bermain bulu tangkis?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan ada di kepalau seandainya aku jadi dia. Jadi aku lebih mengkhawatirkan perasaan David dibanding perasaan Rino meskipun marahnya meluap-luap.
Aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bereaksi se-ekstrem itu. Apakah selama ini kami, atau setidaknya aku, seorang muslim, berbuat sesuatu yang menyakiti dia? Bahkan setelah aku tau dia Yahudi pun aku masih mengajaknya makan malam. No idea... aku benar-benar menyayangkan hal itu. Bagaimana mungkin dia bisa bereaksi se-esktrem itu hanya karena dia tau aku seorang muslim.
Tapi mungkin tidak semua hal bisa kita dapat jawabannya saat itu juga. Bahkan hingga sekarang, setelah 6 tahun berselang, aku masih belum dapat jawaban yang benar-benar menjawab mengapa manusia bisa bereaksi seperti itu. Apakah masa lalu benar-benar berpengaruh pada manusia? Atau bila dihubungkan dengan agama yang saya yakini, apakah Yahudi akan selamanya begitu? Dan memang di kitab suci dijelaskan dalam beberapa ayat akan sifat serta sikap mereka dalam menentang kaum muslim. Tapi apakah mereka akan tetap begitu ketika sebelumnya di antara kami terjalin hubungan pertemanan yang cukup baik? Apakah aku salah mencoba berkawan dengan dia meskipun aku tau dia Yahudi? Ataukah dia yang salah karena memutuskan hubungan silaturahmi? Atau dia memang tidak mengenal silaturahmi dengan muslim? (Mungkin Anda menjawab *Tentu tidak*)
Masih ada berbagai macam pertanyaan di kepalaku yang hingga saat ini masih belum bisa terjawab, atau dengan kata lain sebenarnya lebih ke 'tidak habis pikir'. Hmm...Tapi mungkin memang tidak perlu dijawab. Rasanya sudah cukup bagiku bila bisa berbagi cerita dan semua akan mengerti apa yang aku rasakan bila aku berkata "Temanku Yahudi".